IMG 3750

Trump Targetkan Sistem Akreditasi Universitas dalam Reformasi Pendidikan Tinggi AS

Executive Order terbaru Trump dinilai sebagai “senjata rahasia” untuk mengendalikan ideologi kampus dan meningkatkan akuntabilitas lembaga pendidikan tinggi.

Presiden Donald Trump kembali mengguncang dunia pendidikan tinggi Amerika Serikat. Kali ini, melalui sebuah executive order yang akan menargetkan sistem akreditasi universitas, sebuah mekanisme yang selama ini jarang tersorot publik namun memegang peranan vital dalam eksistensi institusi pendidikan.

Trump menyebut langkah ini sebagai “senjata rahasia” dalam visinya membentuk ulang peta perguruan tinggi nasional, di tengah kekhawatiran tentang penyebaran ideologi progresif dan lemahnya hasil pendidikan di berbagai kampus.

Advertisements

Akreditasi: Penjaga Gerbang Dana Federal

Bagi banyak orang, istilah akreditasi terdengar teknis dan membingungkan. Namun, di balik layar, badan akreditasi berperan besar dalam menentukan apakah sebuah universitas berhak menerima dana federal atau tidak. Pada tahun fiskal yang berakhir September lalu, pemerintah AS menyalurkan lebih dari $120,8 miliar dalam bentuk pinjaman, hibah, dan program kerja kepada 9,9 juta mahasiswa.

Untuk bisa menerima dana ini, sebuah kampus harus mendapatkan persetujuan dari badan akreditasi yang diakui Departemen Pendidikan. Proses ini menilai berbagai aspek, mulai dari misi dan kurikulum hingga mutu dosen dan tingkat kelulusan mahasiswa.

Namun kenyataannya, sangat jarang ada universitas yang dicabut akreditasinya, meski memiliki tingkat kelulusan atau penempatan kerja yang rendah.

Kritik: Akreditasi Dianggap Kartel yang Menghambat Inovasi

Trump dan banyak anggota Partai Republik menilai sistem akreditasi saat ini bersifat monopolistik dan anti-kompetitif. Mereka menyebutnya sebagai “kartel” yang tidak cukup efektif dalam menindak kampus dengan performa buruk, sekaligus membatasi masuknya lembaga baru yang lebih progresif atau hasil-oriented.

Kritik ini juga diarahkan pada kecenderungan akreditasi mendorong program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (diversity, equity, inclusion/DEI), yang menurut Trump terlalu sarat ideologi dan mengesampingkan kompetensi akademik.

Dalam sebuah wawancara, Menteri Pendidikan Linda McMahon mengatakan bahwa kelompok akreditasi yang ada terlalu terbatas dan perlu diperluas agar menciptakan persaingan sehat.

Isi Executive Order: Fokus pada Hasil dan Keberagaman Pemikiran

Executive order ini, yang dijadwalkan diteken hari Rabu, akan berfokus pada:

  • Mendorong “keragaman intelektual” di antara staf pengajar dan mahasiswa.
  • Mempermudah universitas untuk mengganti badan akreditasi.
  • Menyederhanakan proses persetujuan bagi badan akreditasi baru, yang saat ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.
  • Menghapus pembatasan geografis, sebuah langkah yang sebenarnya sudah dimulai Trump sejak 2019, agar kampus bebas memilih akreditor tanpa terikat wilayah.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap munculnya lebih banyak badan akreditasi yang kompetitif dan tidak terpaku pada ideologi tertentu.

Dampak Luas: Ancaman Eksistensial bagi Universitas

Menurut Andrew Gillen dari Cato Institute, kehilangan akreditasi bisa menjadi bencana eksistensial bagi banyak kampus. Tanpa akreditasi, lembaga pendidikan tidak dapat menerima dana federal. Tanpa dana tersebut, banyak kampus bisa tutup pintu dalam hitungan bulan.

“Jika Anda kehilangan Pell Grant dan pinjaman mahasiswa, itu artinya tamat riwayatnya,” ujar Gillen.

Beberapa negara bagian seperti Florida dan North Carolina bahkan telah melangkah lebih jauh dengan membuat undang-undang yang mewajibkan institusi publik mengganti akreditor setiap siklus 10 tahun, setelah muncul ketidaksepakatan dengan akreditor utama kawasan selatan.

Kontroversi Diversity dan Ideologisasi

Salah satu pertempuran paling mencolok terjadi antara pemerintahan Trump dan American Bar Association (ABA). Pada Februari lalu, ABA menangguhkan sementara penerapan standar yang mewajibkan pertimbangan keberagaman dalam perekrutan dan penerimaan mahasiswa hukum.

Langkah ini menyusul desakan dari Jaksa Agung Pam Bondi yang menuntut agar standar tersebut dihapus secara permanen. ABA menyatakan bahwa mereka tidak akan membahas ulang standar ini sebelum bulan Mei, menandakan ketegangan yang belum mereda.

Apakah Perlu Reformasi? Pro dan Kontra

Meski banyak pihak menyambut baik semangat akuntabilitas, sebagian akademisi dan pengamat pendidikan memperingatkan risiko politisasi pendidikan.

Michael Poliakoff, anggota komite federal yang mengesahkan akreditor, menyatakan bahwa metrik seperti tingkat kelulusan, pengembalian investasi pendidikan, dan tingkat pekerjaan lulusan seharusnya menjadi indikator utama akreditasi—dan tidak dipolitisasi.

“Ini bukan soal sayap kiri atau kanan. Ini menyangkut masa depan mahasiswa dan integritas pendidikan tinggi di negara ini,” ujar Poliakoff.

Sementara itu, beberapa pengamat menekankan bahwa sistem akreditasi saat ini, meskipun tidak sempurna, masih merupakan satu-satunya garis pertahanan terhadap kampus abal-abal atau degree mills yang hanya mengejar keuntungan.

Arah Baru: Akreditasi Berbasis Hasil?

Trump dan timnya mendorong agar akreditasi lebih berbasis pada hasil nyata, bukan sekadar proses administratif. Beberapa usulan bahkan mendorong agar perguruan tinggi bertanggung jawab atas pinjaman mahasiswa, sehingga jika banyak lulusan gagal membayar utang, kampusnya turut mendapat penalti.

Usulan lainnya termasuk menjadikan pemerintah negara bagian sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas akreditasi, atau menciptakan model yang lebih terukur berdasarkan outcome mahasiswa.

Perang Baru di Dunia Pendidikan?

Executive order ini bisa menjadi titik balik dalam sejarah pendidikan tinggi AS. Dengan membongkar sistem akreditasi yang sudah mapan sejak era GI Bill 1950-an, Trump membuka medan tempur baru antara kebijakan pendidikan dan ideologi politik.

Namun yang jelas, kebijakan ini akan mengubah cara universitas mempertahankan reputasi dan eksistensinya. Apakah ini akan meningkatkan kualitas pendidikan, atau justru memicu fragmentasi standar pendidikan tinggi?

Hanya waktu dan hasil evaluasi yang akan menjawabnya.

Related Articles

Responses