Trump

Tarif Trump Ancam BRICS, Ekonomi Dunia Bergejolak

Langkah mengejutkan datang dari Amerika Serikat setelah Donald Trump secara resmi mengumumkan ancaman kenaikan tarif impor sebesar 10% terhadap negara-negara BRICS—termasuk Indonesia, Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Iran, dan Uni Emirat Arab. Kebijakan yang diberi tajuk “Liberation Day” ini dijadwalkan berlaku mulai 1 Agustus 2025, jika Trump kembali berkuasa. Langkah tegas ini diklaim sebagai bentuk perlindungan ekonomi Amerika dari ancaman devaluasi dolar sekaligus upaya membendung gelombang de-dolarisasi yang dipelopori BRICS.

Gelombang Tarif Baru Picu Efek Domino Global

Keputusan Trump langsung mengguncang pasar global. BRICS sebagai blok ekonomi utama dunia berperan besar dalam rantai pasok bahan baku, energi, dan produk manufaktur. Tarif 10% otomatis meningkatkan biaya impor ke AS, memicu lonjakan harga di tingkat konsumen Amerika. Data perdagangan internasional menunjukkan, kenaikan tarif seperti ini sebelumnya berdampak pada inflasi di Amerika serta memicu penurunan permintaan ekspor dari negara berkembang.

Pemerintah Indonesia segera mengambil langkah taktis dengan menawarkan negosiasi pembelian produk Amerika senilai 500 juta dolar AS, termasuk 75 pesawat Boeing, untuk meredam ancaman tarif hingga 32%. Manuver diplomatik serupa juga dilakukan Brasil, yang justru terancam kenaikan tarif lebih tinggi, hingga 50%. Irak dan Libya, meski bukan anggota BRICS, masuk radar tarif 30% akibat sikap politik luar negeri mereka.

BRICS dalam Pusaran Perang Dagang

Langkah agresif AS terhadap BRICS dipicu meningkatnya penggunaan mata uang non-dolar dalam perdagangan internasional. Negara-negara BRICS gencar memperluas transaksi dengan yuan, rubel, dan rupee, yang dinilai Washington melemahkan posisi dolar AS. Data World Bank dan IMF mencatat, pangsa pasar global BRICS dalam ekspor energi, komoditas, dan manufaktur telah melampaui 35% volume perdagangan dunia.

Reaksi pasar terjadi seketika. Mata uang rand Afrika Selatan anjlok 1% terhadap dolar, sementara real Brasil dan rupiah Indonesia juga mengalami tekanan. Indeks saham sektor ekspor dan manufaktur di bursa negara-negara BRICS cenderung melemah. Para analis memperingatkan risiko inflasi global yang lebih tinggi, terutama di negara berkembang yang sangat bergantung pada ekspor ke AS.

Indonesia di Tengah Negosiasi Tarif Trump

Sebagai anggota baru BRICS+, Indonesia dihadapkan pada dilema. Sektor utama seperti tekstil, elektronik, karet, dan minyak sawit berpotensi terpukul jika negosiasi gagal dan tarif diberlakukan. Menteri Perdagangan menyatakan, pemerintah aktif melakukan diplomasi dagang agar Indonesia tidak masuk dalam daftar “musuh ekonomi” AS. Penawaran pembelian pesawat Boeing merupakan strategi utama untuk tetap menjaga akses ekspor ke pasar Amerika.

Namun, jika negosiasi menemui jalan buntu, ancaman nyata berupa penurunan daya saing produk Indonesia, pemutusan hubungan kerja di sektor industri ekspor, serta ketidakstabilan kurs rupiah menjadi risiko yang harus diwaspadai. Selain itu, kenaikan harga impor dari AS juga berpotensi menambah beban inflasi domestik.

Reaksi Pasar Global dan Risiko Jangka Panjang

Selain Indonesia, pasar global secara luas menanggapi kebijakan ini dengan kekhawatiran. Banyak pihak memperingatkan risiko efek domino berupa perang dagang skala besar jika negara-negara BRICS melakukan retaliasi. BRICS telah membuka opsi pembalasan tarif dan mempercepat diversifikasi pasar ekspor, seperti yang dilaporkan Reuters dan Bloomberg.

Dalam konteks ekonomi makro, kebijakan tarif ini juga menambah tekanan terhadap rantai pasok dunia yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Sektor elektronik, otomotif, dan agrikultur paling rentan terhadap gangguan distribusi dan kenaikan harga.

Tarif baru Amerika pada negara BRICS telah menjadi sorotan utama dalam dinamika geopolitik dan ekonomi global tahun ini. Dengan potensi memicu perang dagang baru dan mempercepat perubahan tatanan ekonomi dunia, kebijakan ini membawa konsekuensi nyata bagi stabilitas pasar, daya beli, serta nasib industri di banyak negara berkembang. Kini, semua mata tertuju pada negosiasi intens antara Amerika Serikat dan negara-negara BRICS, di mana hasil akhirnya akan menentukan arah pertumbuhan ekonomi dunia ke depan.

Related Articles

Responses