RUU TNI

Revisi UU TNI Disahkan, Perwira Aktif Kini Bisa Duduki Jabatan Sipil

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah diperbolehkannya perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil strategis tanpa harus mengundurkan diri dari dinas militer.

Langkah ini menuai polemik. Pemerintah mengklaim kebijakan ini sebagai bagian dari strategi nasional menghadapi tantangan global. Namun, sejumlah pakar hukum dan masyarakat sipil menilai kebijakan ini berisiko menghidupkan kembali militerisme dan melukai semangat reformasi.

Apa Saja yang Diubah dalam Revisi UU TNI?

Perwira Aktif Kini Bisa Isi Jabatan Sipil

Revisi UU TNI memperluas cakupan jabatan yang boleh diisi perwira aktif, termasuk di:

Advertisements
  • Kementerian
  • Lembaga negara non-kementerian
  • BUMN strategis
  • Kepala daerah dalam kondisi tertentu

Pemerintah berdalih, kebijakan ini sebagai respon atas ancaman non-konvensional seperti siber, biologis, dan luar angkasa yang membutuhkan keahlian militer.

“Negara butuh SDM terlatih dan profesional untuk mengelola sektor strategis. TNI punya kapasitas itu,” ujar anggota Komisi I DPR RI.

Sejarah Panjang Keterlibatan Militer dalam Ranah Sipil

Dwi Fungsi ABRI: Ketika Militer Berkuasa di Era Orde Baru

Keterlibatan militer dalam jabatan sipil mengingatkan publik pada era Dwi Fungsi ABRI di Orde Baru. Saat itu, militer tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga di bidang sosial-politik, bahkan menguasai kursi legislatif, eksekutif, hingga BUMN.

Praktik ini menyebabkan demokrasi tergerus dan pelanggaran HAM marak terjadi, termasuk dalam peristiwa Tanjung Priok dan Santa Cruz.

Reformasi 1998: Membatasi Peran Militer

Reformasi 1998 menjadi momentum penting membatasi ruang gerak militer. TNI difokuskan pada pertahanan, sementara urusan politik dan sipil diserahkan kepada lembaga sipil. Ini dianggap sebagai tonggak penting dalam membangun demokrasi Indonesia.

Kelebihan Revisi UU TNI Menurut Pemerintah

1. Efisiensi dan Pemanfaatan SDM Terlatih

TNI dikenal memiliki disiplin tinggi, integritas, dan loyalitas. Dengan masuk ke jabatan sipil, diharapkan mampu meningkatkan kualitas birokrasi dan mempercepat reformasi di sektor strategis.

2. Memperkuat Ketahanan Nasional

Pemerintah berdalih, perwira aktif dibutuhkan untuk menghadapi ancaman global, seperti serangan siber dan ketahanan biologis. Militer dinilai lebih siap dalam menghadapi tantangan ini.

3. Sinergi Sipil dan Militer

Kolaborasi antara sipil dan militer disebut bisa menciptakan sinergi positif dalam pengambilan keputusan strategis nasional.

Risiko Revisi UU TNI dari Perspektif Ahli Hukum

1. Berpotensi Melanggar Konstitusi

Pakar hukum tata negara, Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar menilai, revisi ini berpotensi melanggar prinsip supremasi sipil dalam konstitusi.

“Konstitusi menempatkan sipil di atas militer. Jika perwira aktif masuk ke jabatan sipil tanpa mekanisme kontrol yang ketat, ini kemunduran demokrasi,” tegas Zainal.

2. Membuka Jalan Kembalinya Militerisme

Ahli hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Bivitri Susanti, menilai revisi ini sebagai “jalan masuk bagi militer untuk kembali menguasai ranah sipil” secara terselubung.

“Kita pernah punya sejarah kelam soal ini. Jangan sampai UU ini membawa kita ke masa lalu,” tambahnya.

3. Mengaburkan Fungsi TNI dan ASN

TNI dirancang sebagai alat pertahanan negara, bukan alat politik atau bisnis. Revisi ini justru mengaburkan peran ASN yang profesional dalam mengelola birokrasi negara.

Reaksi Keras dari Kelompok Sipil dan LSM

Masyarakat Sipil Waspada

Kelompok masyarakat sipil, seperti Imparsial dan KontraS, menyatakan penolakan. Mereka khawatir, revisi ini melemahkan demokrasi dan membuka peluang pelanggaran HAM.

“Kalau militer terlibat di ranah sipil, akuntabilitas publik akan sulit dilakukan. Ini berbahaya,” ujar Koordinator KontraS.

Desakan Transparansi dan Mekanisme Pengawasan

LSM mendesak adanya mekanisme pengawasan ketat dalam implementasi UU ini. Setiap penunjukan perwira aktif harus dilakukan secara transparan dan diawasi publik.

Dampak Jangka Pendek dan Panjang Revisi UU TNI

Jangka Pendek: Efisiensi dan Ketahanan

Dalam waktu dekat, revisi ini mungkin akan mempercepat kerja birokrasi di sektor strategis. Negara bisa lebih siap menghadapi ancaman non-konvensional.

Jangka Panjang: Ancaman Demokrasi dan Hak Sipil

Namun, bahaya jangka panjang jauh lebih besar. Militer bisa kembali mendominasi ranah sipil, mengulang sejarah masa lalu. Supremasi sipil terancam dan demokrasi bisa tergerus perlahan.

Apa Kata Pengamat Politik?

Pengamat politik dari CSIS, Phillip Vermonte, mengingatkan agar pemerintah tidak gegabah mengabaikan sejarah.

“Reformasi TNI bukan tanpa alasan. Kalau kita biarkan perwira aktif bebas masuk jabatan sipil, ini berisiko besar bagi masa depan demokrasi kita,” tegasnya.

Jalan Tengah: Solusi yang Ditawarkan Ahli Hukum

1. Membatasi Jenis Jabatan

Ahli hukum menyarankan agar UU ini diperjelas dan dipersempit, hanya untuk jabatan yang benar-benar strategis dan terkait langsung dengan pertahanan.

2. Wajib Izin Presiden dan DPR

Setiap penempatan perwira aktif di jabatan sipil harus mendapat izin resmi dari Presiden dan persetujuan DPR. Ini untuk menjamin kontrol sipil tetap terjaga.

3. Masa Tugas Terbatas

Perwira aktif yang bertugas di jabatan sipil harus dibatasi masa tugasnya dan tetap diawasi oleh lembaga pengawas independen.

Menjaga Supremasi Sipil di Tengah Ancaman Global

Revisi UU TNI memang menawarkan solusi praktis untuk menghadapi tantangan zaman. Namun, risiko kembalinya militerisme dan tergerusnya demokrasi jauh lebih besar jika revisi ini tidak diawasi ketat.

Indonesia harus belajar dari sejarah. Supremasi sipil harus tetap dijaga sebagai pondasi utama demokrasi. Pengawasan ketat, transparansi, dan mekanisme kontrol mutlak diperlukan agar revisi ini tidak jadi bumerang bagi bangsa di masa depan.

Mengawal Revisi UU TNI: Demokrasi Bukan untuk Dikorbankan

Sebagai penutup, revisi UU TNI adalah ujian besar bagi bangsa Indonesia. Negara harus memastikan bahwa langkah ini benar-benar untuk kepentingan nasional, bukan menjadi jalan kembali ke era kegelapan militerisme.

Related Articles

Responses