Alasan Generasi Milenial Lebih Konsumtif

malline

Generasi milenial kerap dinilai sebagai generasi yang kreatif dan berani mengambil resiko. Mereka memiliki banyak ide-ide menarik dan memiliki karakter yang sangat produktif.

Namun di sisi lain, mereka juga sangat konsumtif. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh budaya digital dan penggunaan internet, menurut pengamat digital lifestyle Ben Soebiakto.

Menurutnya, internet telah mengambil peran yang sangat siginifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Penetrasi internet di Indonesia telah melampaui angka 50 persen dari total penduduk, menurut survei APJII pada 2018.


Dari total 262 juta jiwa, sebanyak 143,26 orang diperkirakan telah menggunakan internet. Menurut Ben, dari seluruh pengguna internet tersebut, sekitar 49 persen berasal dari kalangan generasi milenial.

“Internet sudah sangat melekat dalam kehidupan [generasi milenial], bukan cuma untuk komunikasi atau mengonsumsi konten tapi juga melaukan transaksi,” ujar Ben di The Pallas.

Menurut Ben, generasi milenial hari ini menggunakan internet untuk melakukan segala jenis transaksi, dari transportasi, membeli makanan, jalan-jalan, hingga berbelanja pakaian dan kebutuhan sehari-hari.

Hal ini memiliki dampak positif dan negatif tersendiri. Dampak positifnya adalah pergerakan generasi milenial menjadi sangat cepat, karena bertransaksi lewat internet menghilangkan berbagai hambatan dan limitasi yang muncul ketika bertransaksi secara fisik.

Misalnya, mereka tidak perlu menghabiskan waktu dan usaha banyak hanya untuk melihat-lihat barang di toko. Selain itu, internet juga memberikan akses terhadap pasar yang lebih luas.

Namun di sisi lain, budaya digital dan penggunaan internet untuk transaksi ini telah membuat generasi milenial sangat konsumtif. Hal ini juga didukung oleh beberapa faktor, jelas Ben.

Dipengaruhi ‘influencer’

Faktor yang pertama adalah peer pressure dari komunitas atau lingkaran pertemanan. Seorang anak milenial akan merasa tertekan untuk ikut membeli barang-barang tertentu jika teman-teman di dalam komunitasnya juga menggunakan atau memiliki barang tersebut.

“Namanya anak muda, kalau satu pertemanan sudah pakai, mereka akan ikuti semua,” kata Ben.

Yang kedua adalah pengaruh dari influencer di media sosial. Kebanyakan anak milenial memiliki seorang influencer yang ia ikuti di media sosial, tergantung pada kegemaran dan ketertarikannya masing-masing.

Influencer yang memproduksi konten dan memiliki jumlah pengikut yang banyak tersebut juga biasanya sering bekerja sama dengan berbagai label untuk mempromosikan produk mereka (endorsement).

Ketika seorang anak milenial melihat influencer idolanya menggunakan atau memiliki suatu barang, ia pun akan terdorong untuk ikut membelinya. Menurut Ben, endorsement lewat influencer media sosial ini bahkan merupakan cara pemasaran produk yang lebih efektif bagi generasi milenial, dibandingkan memasang iklan di televisi.

“Bukan lagi masalah iklan TV, tapi influencer ngomong apa lebih berpengaruh kepada [generasi milenial],” kata Ben.

Dari beberapa kategori generasi milenial, Ben menyebut bahwa kategori yang paling konsumtif adalah generasi milenial yang merupakan first jobbers, yakni orang-orang yang saat ini berusia di awal 20-an dan baru memiliki pekerjaan untuk pertama kalinya.

Hal ini disebabkan mereka baru saja mulai mendapat pendapatan sendiri, dan masih bisa menggunakan seluruh pendapatan tersebut untuk dirinya sendiri.

First jobbers dinilai lebih konsumtif dibandingkan generasi milenial yang telah berusia lebih dari 30 tahun. Kategori generasi milenial yang lebih tua ini biasanya sudah menikah, dan sudah mulai melakukan pengeluaran yang lebih terencana karena memiliki keluarga.