Baca buku

Minat Baca di Indonesia: Antara Optimisme Data Nasional dan Realitas Peringkat Global

Tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia menjadi topik yang menarik perhatian sekaligus menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, data dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, bahkan mencapai kategori “tinggi” pada tahun 2022 dan 2023. Namun, di sisi lain, berbagai laporan internasional, termasuk dari UNESCO dan Programme for International Student Assessment (PISA) oleh OECD, memberikan gambaran yang berbeda, menempatkan Indonesia pada peringkat yang rendah dalam hal minat baca dan literasi secara global. Lantas, bagaimana sebenarnya kondisi minat baca di Tanah Air? Mengapa terdapat perbedaan data yang cukup mencolok? Dan upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan budaya membaca di Indonesia?

Dua Sisi Mata Uang: Data Minat Baca Indonesia

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia secara rutin melakukan survei untuk mengukur Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat. Hasil survei terbaru menunjukkan optimisme. Pada tahun 2023, TGM tercatat sebesar 66,77, naik 4,49% dari tahun sebelumnya yang berada di angka 63,90. Bahkan, tren peningkatan ini telah terlihat sejak tahun 2017. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara konsisten mencatatkan TGM tertinggi di tingkat nasional.

Metodologi perhitungan TGM oleh Perpusnas melibatkan lima dimensi utama, yaitu frekuensi membaca, durasi membaca, jumlah buku yang dibaca, frekuensi akses internet untuk bahan bacaan, dan durasi akses internet untuk bahan bacaan. Formula TGM menggabungkan bobot yang berbeda untuk setiap dimensi, dengan penekanan pada frekuensi, durasi, dan jumlah buku yang dibaca.

Advertisements

Namun, pandangan yang berbeda muncul dari laporan UNESCO. Organisasi dunia ini kerap menyebutkan bahwa tingkat minat baca di Indonesia sangat rendah, bahkan hanya 0,001%. Angka ini mengindikasikan bahwa hanya satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga menduduki peringkat yang kurang menggembirakan dalam hal literasi global, termasuk dalam laporan yang menempatkan Indonesia di antara 10 negara terbawah dengan tingkat literasi rendah dari 77 negara.

Programme for International Student Assessment (PISA) oleh OECD juga menyoroti kemampuan literasi siswa Indonesia yang masih di bawah rata-rata negara-negara OECD. Meskipun demikian, terdapat peningkatan peringkat Indonesia dalam hasil PISA 2022.

Mengurai Perbedaan: Metodologi dan Fokus Penilaian

Perbedaan signifikan antara data TGM Perpusnas dan angka dari UNESCO serta PISA kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan dalam definisi dan metodologi yang digunakan. TGM, dengan memasukkan frekuensi dan durasi akses internet untuk membaca, mungkin mencakup spektrum interaksi dengan materi bacaan yang lebih luas, termasuk berita dan konten daring. Di sisi lain, data UNESCO dan PISA cenderung lebih fokus pada keterlibatan yang lebih mendalam dengan buku atau kemampuan memahami dan menggunakan teks tertulis. PISA, khususnya, mengukur kemampuan literasi siswa berusia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains, yang mencerminkan kemampuan untuk memahami dan menerapkan pengetahuan dari teks.

Data lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca buku. Sementara itu, survei Perpustakaan Nasional pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa hanya 20% pelajar di Indonesia yang membaca buku secara rutin, dengan mayoritas lebih memilih menghabiskan waktu di media sosial atau menonton video.

6 Quick Tips to Help You Memorize Scripture
Ilustrasi membaca buku.

Akar Permasalahan: Mengapa Minat Baca di Indonesia Belum Optimal?

Terdapat berbagai faktor kompleks yang berkontribusi terhadap tantangan dalam menumbuhkan budaya membaca di Indonesia.

Pengaruh Budaya dan Sejarah Lisan

Indonesia memiliki tradisi lisan yang kuat, di mana cerita dan informasi seringkali diturunkan secara verbal melalui narasi rakyat dan pertunjukan tradisional. Ketergantungan historis pada komunikasi lisan ini kemungkinan mempengaruhi preferensi masyarakat terhadap mendengarkan daripada membaca sebagai sumber utama informasi atau hiburan.

Tantangan dalam Sistem Pendidikan

Lingkungan sekolah memegang peranan krusial dalam membentuk kebiasaan membaca sejak dini. Sayangnya, beberapa isu dalam sistem pendidikan Indonesia dapat menghambat perkembangan minat baca. Membaca seringkali dianggap sebagai beban akademis semata, bukan sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat. Keterbatasan materi bacaan yang menarik dan berkualitas tinggi di sekolah, terutama di luar buku pelajaran, juga menjadi kendala. Selain itu, akses terbatas ke perpustakaan dan kondisi perpustakaan sekolah yang kurang memadai tidak mendukung terciptanya lingkungan yang kondusif untuk membaca. Metode pengajaran yang kurang inovatif dalam menumbuhkan semangat membaca serta kurikulum yang padat juga turut berkontribusi.

Kesenjangan Sosio-Ekonomi

Kondisi sosio-ekonomi yang beragam di Indonesia juga menciptakan hambatan dalam mengakses buku dan sumber daya bacaan. Keterbatasan ekonomi keluarga dapat menyulitkan pembelian buku. Distribusi perpustakaan yang tidak merata, terutama di daerah terpencil, membatasi akses ke bahan bacaan. Ketersediaan materi bacaan yang terjangkau dan bervariasi juga menjadi tantangan.

Dominasi Era Digital dan Media Sosial

Pesatnya perkembangan teknologi digital dan media sosial menghadirkan persaingan yang signifikan terhadap kegiatan membaca. Dominasi gadget, media sosial, permainan daring, dan layanan streaming menjadi pilihan hiburan yang lebih menarik bagi sebagian besar masyarakat. Konten di media sosial seringkali lebih menghibur dan mudah dicerna. Kecenderungan masyarakat untuk mencari informasi secara instan juga mengalihkan perhatian dari membaca buku secara utuh.

Kualitas dan Relevansi Materi Bacaan

Persepsi terhadap kualitas dan relevansi buku yang tersedia juga mempengaruhi minat baca. Buku pendidikan terkadang dianggap kaku dan sulit dipahami. Keterbatasan variasi dan kreativitas dalam penyajian materi bacaan juga menjadi masalah. Kualitas terjemahan buku asing juga terkadang kurang memadai.

Perbandingan Internasional: Posisi Indonesia di Mata Dunia

Dalam konteks ASEAN, Indonesia menempati peringkat ketiga dalam hal minat membaca buku berdasarkan data dari CEOWORLD Magazine tahun 2024. Rata-rata warga Indonesia membaca 5,91 buku per tahun dengan durasi membaca mencapai 129 jam. Singapura menduduki peringkat pertama di ASEAN dengan rata-rata 6,72 buku per tahun. Meskipun demikian, secara global, Indonesia berada di peringkat ke-31 dari 102 negara yang disurvei.

Secara global, peringkat Indonesia dalam hal literasi dan minat baca masih memerlukan perhatian serius. Tingkat literasi Indonesia tercatat sekitar 95,44%, menempatkannya di peringkat ke-100 dari 208 negara. Namun, dalam hal minat baca, Indonesia seringkali menempati peringkat yang sangat rendah, bahkan pernah menduduki peringkat kedua dari bawah secara global. Negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang memiliki budaya membaca yang jauh lebih kuat.

Upaya Pemerintah dan Masyarakat dalam Meningkatkan Minat Baca

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan minat baca dan literasi masyarakat. Inisiatif ini meliputi penerbitan payung hukum terkait literasi, penyediaan buku murah, pelaksanaan Gerakan Nasional Gemar Membaca dan berbagai gerakan literasi di tingkat keluarga, sekolah, dan masyarakat, transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, peluncuran program Merdeka Belajar, pengembangan ekosistem digital untuk mendukung literasi digital, pengembangan kapasitas literasi di tingkat desa, pengenalan program “Literasi untuk Generasi Emas”, pembentukan Pojok Baca Digital (POCADI), dan berbagai inisiatif oleh Badan Bahasa.

Perpustakaan dan organisasi masyarakat juga memainkan peran penting dalam mempromosikan budaya membaca. Transformasi perpustakaan menjadi pusat komunitas dan pengembangan taman baca masyarakat (TBM) menjadi contoh nyata upaya ini. Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat, termasuk peran aktif para aktivis literasi, menjadi kunci keberhasilan.

Menggali Potensi Literasi: Kunci Kemajuan Bangsa

Data minat baca di Indonesia memang menunjukkan adanya dualitas. Meskipun data TGM dari Perpusnas memberikan harapan dengan tren peningkatan yang positif, realitas peringkat global dan data dari lembaga internasional seperti UNESCO dan PISA mengindikasikan bahwa pekerjaan rumah kita masih panjang. Berbagai faktor, mulai dari budaya lisan hingga tantangan di era digital, berkontribusi pada kondisi ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya berkelanjutan dan terintegrasi dari seluruh pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat, untuk menumbuhkan budaya membaca yang kuat di Indonesia. Dengan meningkatkan minat baca dan literasi, kita tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga membuka pintu menuju kemajuan dan daya saing global yang lebih baik.

Related Articles

Responses