Alasan Orang Orang Seneng Melecehkan Jomblo

jomblo

Status hubungan seseorang seolah-olah bisa menjadi indikator dari sekian banyak hal yang tidak serta merta kelihatan: kebahagiaan orang tersebut, kesejahteraan lahir dan batinnya, bahkan kualitasnya sebagai manusia.

Jika dia menikah, dirinya adalah figur yang stabil, mapan, dan bermutu. Jika dia lajang, orang akan langsung menudingnya merana, kurang bernilai, dan bernasib malang. Bila seseorang, terutama perempuan, bersikap ketus dan tidak ramah, sering muncul komentar: Dia belum menikah ya? (baca: dia kurang berhubungan seks, makanya dia judes).

Menjadi lajang dianggap sama dengan melawan kodrat. Orang berpikir, mesti ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Pasti dia kesepian. Mungkin dia tidak normal. Dan karena dia tidak normal maka dia menjadi obyek perisakan, atau bahan lelucon. Muncullah kalimat-kalimat seperti, “Apa enggak bosan ya sendirian?”, “Ini hadiah lagu buat semua jomblo di malam Minggu, supaya enggak terlalu nelongso”, “Aku sih punya si dia yang siap mendampingiku, kasihan ya kamu yang jomblo makanya buruan dong.”


Olok-olok terhadap para lajang ini juga muncul dari tokoh publik. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, misalnya, berhasil dengan politik jomblonya, dan belakangan diikuti oleh Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno. Orang-orang baik ini pasti tidak punya maksud jahat. Ridwan mungkin tokoh yang terlalu menikmati menjadi pusat perhatian, tapi dia toh bukan orang jahat. Sandiaga sih saya tidak tahu, dugaan saya dia hanya bingung mau bilang apa kepada media dan ikut-ikutan saja untuk membicarakan jomblo.

“Lelucon jomblo adalah candaan yang mudah, ibarat gaun hitam yang tak akan pernah gagal dipakai ke pesta atau pesanan nasi goreng yang tak akan salah.”

Menurut saya, setidaknya ada dua hal yang membuat orang gemar melecehkan lajang. Pertama, karena kebiasaan meniru perilaku mayoritas orang secara otomatis, tanpa pernah berpikir ulang tentang alternatif yang lebih baik. Lelucon jomblo adalah candaan yang mudah, ibarat gaun hitam yang tak akan pernah gagal dipakai ke pesta atau pesanan nasi goreng yang tak akan salah.

Kedua, dan ini yang penting, orang berpasangan gemar melecehkan lajang karena mereka membutuhkannya sebagai mekanisme bertahan hidup (dalam hubungan). Karena membangun hubungan, khususnya monogami, membutuhkan kerja yang sangat keras, mereka sangat perlu menguatkan diri, lagi dan lagi. Mencela si lajang sebetulnya cara orang-orang ini bertahan, ibarat mengunyah permen ketika sedang terengah-engah mendaki gunung. Mereka butuh mengatakan kepada diri sendiri dan dunia, “Lihat tuh orang yang sendirian, enggak enak kan.” Mereka perlu menguatkan diri setiap waktu, karena hubungan monogamis adalah perjalanan mendaki yang panjang, seperti maraton serial tiada akhir (sampai maut memisahkan kita).

Meskipun belum menikah, saya punya subyek penelitian yang bisa saya amati terus menerus: pernikahan saudara-saudara dan sahabat-sahabat saya, dan terutama pernikahan Bapak dan Ibu saya yang menginjak usia ke-52 tahun ini.

Berdasarkan pengamatan bertahun-tahun, saya berani menyimpulkan bahwa orang tua saya memiliki pernikahan yang bahagia. Setiap pagi, Bapak yang sudah pensiun sekian tahun lalu akan membersihkan halaman dan rumah. Ritual selanjutnya adalah minum kopi pagi hari. Dan tidak ada sehari pun lewat tanpa dia bertanya kepada Ibu, “Mau minum apa?” Lalu membuatkannya. Setiap hari.

Ibu dan Bapak kerap duduk bersama, menonton televisi atau berbincang tentang apa saja, dari mulai kabar tetangga yang sudah pindah, gubernur dan wakil gubernur yang ajaib, sampai pelantang mesjid yang kian mengganggu. Meskipun secara umum adalah pasangan yang akur, bukan berarti mereka tidak saling gerutu, tidak pernah saling mengesalkan, dan saling mengeluh tentang yang lainnya.

Mengamati interaksi mereka dari waktu ke waktu, saya menyimpulkan bahwa pernikahan membutuhkan kerja keras dan kesabaran yang tak habis-habis. Keseharian dalam pernikahan sama sekali bukan sesuatu yang gemerlap seperti pada film-film romantis, tapi lebih banyak pada urusan pembagian tugas perihal cucian kotor, bersih-bersih rumah, dan suara kentut nyaring yang baunya menghunjam kalbu. Bukan hanya tentang “ada yang selalu menemani” tapi juga “bagaimana mencuri ruang sendiri tanpa membuat dia merasa diabaikan.” Semua remah-remah urusan keseharian beserta kompleksitasnya, dikalikan puluhan tahun.

Sangat bisa dimaklumi jika tak semua orang mampu bertahan menjalani semua itu. Segala kerutinan yang menjemukan, komitmen penuh memperhatikan pasangan, kesiapan untuk mendengarkan cerita pasangan ketika kita lebih ingin melakukan hal lain, dan segala pengorbanan yang lebih besar daripada itu. Sebagian orang lalu mencari perhatian lawan jenis lain, sebagian lagi menghibur diri dengan cara ingin tampak baik di mata dirinya sendiri maupun orang lain, yang mengejawantah dalam sikap menasihati sampai dengan merisak orang lain agar cepat-cepat menikah (kenelangsaan selalu butuh teman, bukan?).

Mereka merisak para lajang semata-mata karena itu adalah mekanisme untuk memperoleh rasa aman, sebagai upaya bertahan pada hubungan mereka sendiri. Upaya untuk mengonfirmasi kepada diri bahwa segalanya ini (kelelahan mengurus anak, dengkur yang parau, muka menjemukan yang sama setiap pagi) cukup berharga untuk dijalani.

Saya teringat cerita Richard Muller, profesor Fisika dari University of California Berkeley di AS, yang menuturkan di akun Quora miliknya bagaimana teman-temannya biasanya malu ketika bercerita bahwa mereka bercerai. Terutama karena Muller sendiri memiliki pernikahan yang awet selama lebih dari 50 tahun.

Muller menghibur teman-temannya ini sambil menyitir hasil kajian Stephanie Coontz yang diungkapkan dalam bukunya, The Way We Never Were. Rata-rata usia pernikahan di zaman kolonial Amerika adalah kurang dari 12 tahun karena kematian akibat kecelakaan, melahirkan, perang, atau pembantaian. Angka ini kemungkinan serupa dengan yang terjadi di Eropa, karena sebab-sebab dari berakhirnya pernikahan itu universal.

Konsekuensi yang bisa ditelaah secara konseptual adalah pernikahan bukanlah suatu institusi yang dirancang untuk durasi panjang. Jadi, hibur Muller, tidak perlu merasa gagal jika pernikahanmu bubar jalan.

“Pernikahan yang awet itu menurutku seperti menang Hadiah Nobel, itu bukan sesuatu yang bisa kita targetkan, tapi berharga untuk dicita-citakan, dan kita syukuri jika kesampaian,” tulis Muller. Selamat untuk Muller dan istrinya serta orang tua saya, karena mereka sudah menang “Nobel”.

Pernikahan bukan institusi yang dirancang untuk durasi panjang. Tidakkah itu suatu pernyataan yang membebaskan?

“Mereka merisak para lajang semata-mata karena itu adalah mekanisme untuk memperoleh rasa aman, sebagai upaya bertahan pada hubungan mereka sendiri.”

Saya menuliskan ini bukan sebagai kampanye anti-pernikahan, melainkan semacam ajakan untuk melihat pernikahan dengan cara yang baru. Jika pernikahanmu terasa berat bahkan menyiksa, santai Kawan, kau tak sendiri. Tak perlu merasa buruk, dan terlebih tak perlu mencari kompensasi dengan mencela orang lain yang tidak melalui jalan yang sama. Terimalah sebagai bagian dari kewajaran. Pernikahan yang kandas, juga bukan berarti kegagalan.

Mereka yang memilih tidak menikah bisa jadi melakukan keputusan yang tepat karena untuk apa berinvestasi sedemikian besar kepada suatu lembaga yang sejak awal tidak dirancang untuk tahan lama. Mereka yang ingin menikah tapi belum kesampaian, tidak perlu merasa sedemikian malangnya, sebab pernikahan hanyalah salah satu jalan untuk bahagia, yang belum tentu juga berhasil setelah resepsi yang terlalu mewah.

Dan jika pun pernah bahagia, tak ada jaminan awet pula. Ia bisa berguna, bisa membuat sengsara, tapi pun bukan segalanya. Pernikahan hanyalah institusi rancangan manusia zaman lalu, yang sewajarnya bisa kadaluwarsa, bahkan mungkin tak terlampau relevan lagi dengan situasi saat ini.

Baik yang menikah dan tidak menikah, kita semua punya tugas bersama untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik bagi anak-anak masa depan, apakah itu anak-anak kandung kita atau bukan. Butuh sekampung untuk membesarkan seorang anak, demikian pepatah Afrika. Keluarga selayaknya menjadi tempat yang aman, landasan yang sangat dibutuhkan seorang anak untuk memulai kehidupannya, dan belajar mencerna segala sesuatu tentang dunia ini.

Tapi orang lain, termasuk mereka yang tidak atau belum menikah adalah orang-orang sekampung itu, yang juga wajib bekerja untuk memberikan ruang hidup yang terbaik bagi generasi selanjutnya. Tidak perlu merasa kurang atau lebih dibanding yang lain, karena kita semua pada dasarnya hanya sedang berbagi tugas saja.

Orang-orang yang melecehkan lajang adalah pribadi-pribadi kerdil yang merasa tidak aman, dan membutuhkan semua upaya yang mereka tahu untuk menjadi lebih kuat, karena mereka pikir cara terbaik hidup di dunia adalah dengan menikah.

Untuk menghadapi mereka sama dengan menangani perisak jenis lain, yakni dengan mengasihani mereka. Atau jika Anda sedang merasa punya waktu dan energi berlebih, coba katakan, “Hei, tahu tidak, pernikahan itu kan sebenarnya bukan dirancang untuk hubungan jangka panjang?”

Mungkin di lain waktu mereka akan mencari Anda untuk curhat tentang kemelut rumah tangga mereka.