Penderita kanker payudara tak harus kemoterapi

malline

Sebuah penelitian inovatif menemukan bahwa ribuan perempuan penderita kanker payudara tahap awal tidak membutuhkan kemoterapi setelah menjalani operasi.

Kesimpulan tersebut didapat setelah para peneliti mengevaluasi hasil percobaan TAILORx (Trial Assigning Individualized Options for Treatment Rx). Peneliti mengamati hasil tes patologi OncotypeDx (Genomics Health) yang memprediksi risiko kambuhnya kanker. Mereka menemukan tes ini dapat diandalkan.

Percobaan TAILORx melibatkan lebih dari 10.000 perempuan dengan kanker payudara yang paling umum. Dikutip Live Science, tumor payudara mereka dianalisis dengan tes molekuler.


Tes ini mengamati 21 gen dan kemudian menghasilkan skor dari nol hingga 100, yang memprediksi risiko kanker payudara akan kambuh lagi setelah operasi.

Perempuan dengan risiko rendah–skornya di bawah 10–tidak perlu kemoterapi setelah operasi. Alih-alih, studi sebelumnya telah menemukan mereka dapat diobati dengan terapi hormon.

Sementara, perempuan dengan skor risiko tinggi di atas 25 harus menjalani kemoterapi selain terapi hormon.

Para peneliti secara khusus tertarik pada perempuan yang mendapat skor 10 hingga 25–skor ini masuk dalam kisaran risiko menengah kanker kambuh kembali setelah operasi. Dokter tidak terlalu yakin apakah perempuan dalam kisaran risiko menengah mendapat manfaat dari kemoterapi, atau sekadar merasakan efek sampingnya saja.

Untuk menemukan jawabannya, peneliti secara acak memilih lebih dari 6.700 perempuan dengan skor menengah–11 hingga 25. Mereka dibagi ke dalam dua kelompok.

Setelah operasi, satu kelompok mendapat terapi endokrin saja, sementara yang lain diobati dengan terapi endokrin plus kemoterapi.

Setelah bertahun-tahun ditindaklanjuti, data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang tidak mendapatkan kemoterapi bernasib sama seperti mereka yang melakukannya.

Perempuan berusia 50 tahun atau lebih muda adalah pengecualian. Menurut penulis utama riset Joseph Sparano seperti dilansir The Washington Post, mereka dengan angka kekambuhan 16 ke atas mendapat manfaat “substansial” dari kemoterapi dan harus mempertimbangkannya.

Hasil uji coba ini melengkapi potongan puzzle tentang cara mengobati kanker payudara tahap awal. Kebanyakan pasien dengan penyakit ini memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, tetapi prognosis mereka memburuk secara drastis jika kanker kembali kambuh di bagian tubuh lain.

Karena itu, banyak perempuan dengan kanker stadium awal yang didesak untuk mendapatkan kemoterapi dengan harapan mencegah penyebaran.

Namun, beberapa tahun terakhir banyak dokter menyimpulkan perempuan dalam tahap stadium awal kanker menjalani terlalu banyak perawatan. Alhasil dokter mengurangi penggunaan kemoterapi, dengan segala efek sampingnya yang menimbulkan ketidaknyamanan.

“Kami dapat menyelamatkan ribuan perempuan dari perawatan beracun yang benar-benar tidak akan menguntungkan mereka. Ini adalah temuan penting yang benar-benar mengubah standar perawatan,” kata penulis studi Ingrid A. Mayer, M.D., Associate Professor Medicine di Vanderbilt University Medical Center pada New York Times.

Sekitar 70 persen pasien yang biasanya menjalani kemoterapi sekarang bisa mendapatkan terapi endokrin sebagai gantinya.

Sebagai informasi, kemoterapi memiliki beberapa faktor risiko. Termasuk di dalamnya kerusakan jantung dan saraf. Belum lagi efek samping yang tidak menyenangkan seperti rambut rontok dan perut mual.

Pun demikian, kemoterapi masih bisa bermanfaat bagi pasien yang lebih muda, terutama mereka yang berusia di bawah 50 tahun.

Siapa saja pasien yang memenuhi syarat untuk terapi endokrin? Syarat utamanya adalah mereka yang merupakan penderita kanker payudara tahap awal.

Selain itu juga mereka yang memiliki tumor payudara berukuran satu sampai lima sentimeter, dan belum menyebar ke kelenjar getah bening. Pasien juga harus teruji negatif untuk HER2, sensitif terhadap estrogen, dan mendapat skor 11 hingga 25 pada tes gen yang mengevaluasi kekambuhan kanker.

Peneliti lain juga menyambut baik temuan ini. “Saya pikir ini adalah kemajuan yang sangat signifikan,” kata Larry Norton, M.D., ahli onkologi di Pusat Kanker Memorial Sloan Kettering di New York yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Norton juga mengungkap betapa temuan ini dapat meringankan beban mental tenaga medis profesional. “Saya akan bisa melihat mata pasien dan berkata, ‘Kami menganalisis tumor Anda, dan Anda memiliki prognosis yang sangat baik jadi sebenarnya tidak memerlukan kemoterapi.’ Bisa mengatakan hal itu pada pasien adalah kabar baik,” pungkas Norton.