LEGO Bangkit dari Kebangkrutan, Kini Jadi Pemimpin Pasar Mainan Dunia
LEGO, produsen mainan terkenal asal Denmark, hampir saja bangkrut pada awal 2000-an. Perusahaan ini menghadapi tantangan besar akibat utang yang membengkak dan penurunan penjualan drastis. Pada tahun 2003, LEGO memiliki utang sebesar 800 juta USD dan penjualannya menurun hingga 30%. Penyebab utama krisis ini adalah diversifikasi yang gagal dan pergeseran minat anak-anak dari mainan fisik ke video game.
LEGO didirikan pada tahun 1932 oleh Ole Kirk Christiansen, awalnya memproduksi mainan dari balok kayu. Namun, di awal 2000-an, perusahaan berjuang untuk bertahan hidup di pasar yang berubah cepat. Menghadapi tekanan besar, keluarga pendiri memutuskan untuk menunjuk Jorgen Vig Knudstorp sebagai CEO baru pada tahun 2004. Knudstorp, yang saat itu berusia 35 tahun, menjadi CEO pertama LEGO dari luar keluarga Christiansen.
Knudstorp langsung melakukan restrukturisasi besar-besaran di perusahaan. Ia fokus pada efisiensi operasional dan mengurangi inefisiensi di berbagai bagian perusahaan, mulai dari produksi hingga distribusi. Salah satu langkahnya adalah memperkenalkan sistem perencanaan sumber daya perusahaan (ERP) dan manajemen siklus hidup produk (PLM), yang membantu menyederhanakan dan mempercepat proses bisnis.
Hasilnya, dalam waktu satu tahun setelah Knudstorp mengambil alih, LEGO sudah kembali mencatatkan keuntungan. Pertumbuhan pendapatan tahunan LEGO mencapai rata-rata 32,9%, yang menandakan kebangkitan perusahaan dari masa krisis. LEGO berhasil bangkit berkat pendekatan efisiensi yang diterapkan Knudstorp.
Pada tahun 2015, LEGO mulai mengintegrasikan teknologi digital ke dalam strategi bisnisnya. Mereka mengembangkan produk seperti LEGO Fusion dan LEGO Dimensions, yang memungkinkan anak-anak memindahkan karya fisik mereka ke dalam permainan digital. Selain itu, LEGO meluncurkan platform digital seperti LEGO Life, yang memberikan ruang aman bagi anak-anak untuk berkreasi dan berinteraksi.
LEGO juga membangun pusat kolaborasi di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Shanghai, dan Singapura, untuk memperkuat inovasi dan kolaborasi antar tim. Mereka memanfaatkan teknologi digital untuk mendorong kerja sama global dan meningkatkan efisiensi perusahaan.
Pada tahun 2015, LEGO berhasil menggeser Ferrari sebagai merek terkuat di dunia. Penjualannya menembus angka 1 miliar USD dan terus tumbuh, bahkan di tengah persaingan ketat dengan perusahaan mainan lainnya seperti Mattel dan Hasbro. Kesuksesan ini merupakan hasil dari kombinasi inovasi, efisiensi operasional, dan kemampuan LEGO untuk beradaptasi dengan perubahan zaman.
Knudstorp menyatakan bahwa kunci sukses LEGO adalah integrasi teknologi digital yang tidak hanya untuk memperkuat produk, tetapi juga sebagai bagian dari DNA perusahaan. Dengan pendekatan ini, LEGO tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga terus menjadi pemimpin pasar di industri mainan global.
Dengan menggabungkan efisiensi operasional dan inovasi digital, LEGO telah berhasil beradaptasi dan berkembang di era digital, membuktikan bahwa visi yang jelas dan manajemen yang tepat dapat mengubah nasib sebuah perusahaan.
Responses