Perjalanan Sritex Menuju Kepailitan: Dari Raksasa Tekstil hingga Terperosok dalam Krisis Keuangan
Sukoharjo, 24 Oktober 2024 – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang dahulu dikenal sebagai salah satu raksasa industri tekstil di Indonesia, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Perusahaan yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai produsen tekstil dan seragam militer terbesar, kini terjerembab dalam krisis utang yang mengakhiri masa kejayaannya.
Keputusan pailit ini merupakan hasil dari gugatan yang diajukan oleh salah satu krediturnya, PT Indo Bharat Rayon, yang merasa bahwa Sritex tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati sebelumnya. Dengan putusan tersebut, Sritex tak lagi mampu mempertahankan posisinya sebagai perusahaan yang dominan di pasar tekstil domestik maupun internasional.
Sejarah Perjalanan Sritex
Sritex didirikan pada tahun 1966 oleh H.M. Lukminto di Solo, Jawa Tengah. Awalnya, perusahaan ini hanyalah toko tekstil kecil di pasar, namun seiring dengan berkembangnya waktu dan strategi bisnis yang jitu, Sritex berhasil tumbuh menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Keberhasilan ini ditandai dengan berbagai pencapaian, salah satunya menjadi pemasok seragam militer untuk lebih dari 30 negara, termasuk NATO.
Dalam beberapa dekade, Sritex mengembangkan usahanya menjadi perusahaan tekstil terintegrasi yang mencakup seluruh rantai produksi, mulai dari pemintalan benang, penenunan kain, pencelupan dan finishing, hingga pembuatan pakaian jadi. Dengan kapasitas produksi yang besar dan efisiensi yang tinggi, perusahaan ini mampu bersaing di pasar global, mengantongi berbagai kontrak dari pelanggan internasional.
Namun, kesuksesan ini tidak bertahan lama. Pada awal 2020-an, Sritex mulai menunjukkan tanda-tanda kesulitan finansial. Krisis pandemi COVID-19 memperburuk situasi keuangan perusahaan, mempengaruhi permintaan global dan memperlambat operasional perusahaan. Sejak saat itu, Sritex mulai berjuang untuk menjaga likuiditas dan memenuhi kewajiban utangnya yang terus membesar.
Krisis Keuangan dan PKPU
Pada tahun 2021, Sritex mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebagai langkah awal untuk restrukturisasi utangnya yang saat itu mencapai triliunan rupiah. Proses PKPU ini memberikan perusahaan kesempatan untuk mencapai kesepakatan dengan kreditur dan menunda pembayaran utang agar dapat tetap beroperasi.
Namun, proses restrukturisasi ini tidak berjalan mulus. Meskipun sempat ada kesepakatan damai dengan beberapa kreditur, Sritex menghadapi gugatan dari PT Indo Bharat Rayon pada pertengahan 2024. Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur utama Sritex, mengklaim bahwa perusahaan gagal memenuhi kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati dalam proses PKPU. Gugatan ini akhirnya membawa Sritex ke meja pengadilan, di mana Hakim Ketua Pengadilan Niaga Kota Semarang, Muhammad Anshar Majid, memutuskan untuk mengabulkan gugatan Indo Bharat Rayon dan menyatakan Sritex pailit.
Mengapa Sritex Terjerembab dalam Krisis?
Kepailitan Sritex tidak terjadi dalam semalam. Sejumlah faktor menjadi penyebab utama kejatuhan perusahaan ini. Pertama, beban utang yang sangat besar menjadi tantangan utama bagi manajemen. Menurut laporan keuangan terakhir, total utang Sritex mencapai lebih dari Rp 8 triliun. Beban utang ini tidak sebanding dengan pendapatan perusahaan yang terus menurun akibat melemahnya permintaan global, terutama di sektor tekstil selama masa pandemi.
Selain itu, krisis global yang dipicu oleh pandemi COVID-19 memperburuk situasi perusahaan. Pasar tekstil, yang sangat bergantung pada rantai pasokan global, mengalami penurunan tajam dalam permintaan. Beberapa pelanggan internasional menunda atau membatalkan pesanan, sementara biaya operasional perusahaan tetap tinggi. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pasar inilah yang membuat likuiditas perusahaan semakin tertekan.
Ketiga, manajemen perusahaan dinilai gagal mengatasi tantangan internal dan eksternal yang dihadapi Sritex. Langkah-langkah restrukturisasi yang diambil dianggap kurang efektif dalam jangka panjang. Terbukti, meskipun telah mengajukan PKPU, Sritex tidak mampu memenuhi kewajiban utang yang sudah dirundingkan ulang dengan kreditur. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan belum berhasil memperbaiki fondasi keuangannya.
Dampak bagi Industri Tekstil Nasional
Kepailitan Sritex tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi industri tekstil nasional. Sebagai salah satu pemain terbesar di industri ini, kejatuhan Sritex mencerminkan kesulitan yang dihadapi sektor tekstil Indonesia secara keseluruhan. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) telah memperingatkan bahwa kasus Sritex hanyalah puncak gunung es dari krisis yang lebih besar yang mengancam industri tekstil nasional.
Ketua API, Ade Sudrajat, menyebut bahwa industri tekstil nasional sudah lama menghadapi tekanan yang besar, baik dari sisi pasar global yang kompetitif maupun regulasi domestik yang kurang mendukung. Selain itu, sektor tekstil juga sangat bergantung pada impor bahan baku, yang membuatnya rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan harga komoditas global.
Kepailitan Sritex dapat memicu dampak berantai bagi pemasok, mitra bisnis, dan ribuan karyawan yang terlibat dalam rantai pasokan perusahaan ini. Sebagai salah satu perusahaan yang mempekerjakan ribuan pekerja di Jawa Tengah, nasib karyawan Sritex kini berada dalam ketidakpastian. Pemerintah diharapkan dapat segera memberikan solusi dan perlindungan bagi para pekerja yang terdampak oleh kebangkrutan ini.
Langkah Selanjutnya
Dengan dinyatakannya Sritex sebagai perusahaan pailit, langkah selanjutnya adalah proses likuidasi aset perusahaan untuk melunasi utang kepada kreditur. Pengadilan Niaga Kota Semarang telah menunjuk kurator yang bertanggung jawab untuk mengurus aset-aset perusahaan dan membagikannya kepada kreditur sesuai prioritas. Ini termasuk menjual pabrik, mesin-mesin produksi, dan aset lainnya yang dimiliki oleh Sritex.
Bagi kreditur, proses ini akan menjadi penentu seberapa besar kerugian yang akan ditanggung. Dalam banyak kasus kepailitan, kreditur sering kali hanya menerima sebagian kecil dari total utang yang harus dibayar, karena hasil dari likuidasi tidak cukup untuk menutupi seluruh kewajiban perusahaan. Namun, bagi para karyawan dan pemangku kepentingan lainnya, keputusan ini menimbulkan pertanyaan yang lebih besar tentang masa depan mereka.
Sementara itu, pemerintah diharapkan dapat mengambil peran aktif dalam membantu industri tekstil nasional bangkit dari krisis ini. Beberapa pihak telah mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif fiskal dan bantuan langsung kepada industri tekstil, terutama dalam hal akses terhadap bahan baku dan pasar ekspor. Dukungan semacam ini dianggap penting untuk memastikan keberlanjutan industri yang menjadi tulang punggung ekonomi di banyak daerah di Indonesia, terutama di Jawa Tengah.
Penutup
Kepailitan Sritex merupakan cerminan dari tantangan besar yang dihadapi industri tekstil Indonesia di era globalisasi. Meskipun telah menjadi pemain utama di pasar tekstil internasional, Sritex tidak mampu bertahan dari gempuran krisis keuangan dan perubahan pasar. Kejatuhan ini menjadi pelajaran penting bagi perusahaan-perusahaan lain di sektor ini tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang baik dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan pasar global.
Bagi Sritex, masa depan perusahaan kini berada di tangan kurator dan pengadilan, sementara nasib ribuan pekerja dan kreditur menunggu hasil dari proses likuidasi. Bagi industri tekstil nasional, kepailitan Sritex bisa menjadi momen introspeksi untuk memperkuat fondasi industri dan menghadapi tantangan di masa mendatang.
Responses